Senin, 14 November 2011

Artikel Budaya Karo, Museum Karo

Museum Karo, Hadir Kembali
Di Tengah-tengah Kita

Oleh: Betlehem Ketaren, SH

            Kenyataan bahwa masyarakat Karo memiliki seni budaya yang amat kaya, unik dan mempunyai daya tarik tersendiri, memerlukan upaya dan karya dalam menggali nilai-nilainya yang bernas dan bermutu untuk dipertahankan, dipelihara dan dikembangkan secara turun temurun guna kepentingan manusia yang universal.
            Dari jauh-jauh hari, yakni pada  zaman pendudukan kolonial Belanda, Lembaga misi Nederlandse Zendelinggenootschap (NZG) sudah menunjukkan perhatiannya yang mendalam pada kebudayaan Karo yang dibuktikannya dengan kerja keras mengupayakan menterjemahkan Alkitab kedalam bahasa Karo dan terlebih-lebih dengan mendirikan sebuah museum Batak Karo di Desa Raya (terletak di pinggir jalan Kabanjahe-Berastagi, pada Km 69,5 dari Medan) yang konon bersebelahan dengan universitas beken pada zamannya, bernama Sekolah Tinggi Raya.
            Sejarah menjadi saksi bisu bahwa museum itu pada tahun 1917 telah berdiri dengan megah dengan dengan arsitektur Karo yang agung sebagaimana gambarnya pernah dimuat pada “Gambar Tempoe Doeloe” salah satu koran terbitan Medan, museum mana, luluh lantak dan rata dengan tanah pada tahun 1949 dengan politik perang “rap-rap(bumi hangus).
            Pemerintahan Kabupaten Karo dibawah pimpinan bupati Tampak Sebayang, SH, dengan cermat pernah melihat perlunya membangun kembali museum Karo, maka pada akhir 1970-an kembali membangunnya di lokasi yang sama melalui C.V. Piun yang dipimpin oleh Pangkat Sembiring Berahmana. Namun demikian sejak berdiri dan entah karena apa, museum tersebut tidak pernah maksimal berfungsi sebagai museum. Padahal bangunannya yang megah dan kokoh itu tersebut sempat menjadi salah satu ikon parawisata Karo dan sampai sekarang tetap menjadi salah satu gambar sampul undangan Tenah Erdemu Bayumaupun sampul buku pelajaran SMP muatan lokal “Bahasa dan Budaya Daerah Karo” sebagaimana dikeluarkan Perc. CV. Sitepu RG. Tapi karena tak pernah dirawat dengan baik maka museum itu remuk dimakan usia, serta kemudian tanpa kata dan pesan yang jelas bagi kita semua, museum itu telah ambruk pada beberapa bulan yang lalu.
            Melihat kenyataan itu, seorang Joosten Leonardus Edigius seorang misionaris dari Belanda yang lebih dikenal sebagai pastor Leo Ginting (bere-bere Sitepu), sejak ditugaskan di Kabanjahe menjadi  tak pernah tidur nyenyak, dan akan semakin gelisah ketika kemudian ditempatkan di Berastagi kalau belum mendirikan kembali museum Karo, yang akan difungsikan sebagai menara air pemeliharaan, pengembangan serta sebagai arena pameran keagungan budaya Karo kepada dunia.
            Berawal dari menulis buku kamus “Indonesia-Karo”, buku “Mbuah Page Nisuan” dan buku-buku lain menyangkut budaya, beliau kemudian memprakarsai pembangunan gereja Inkulturatif Karo di Berastagi pada tahun 2001 dan sejak diresmikan pada tahun 2005, yang ternyata tak henti-hentinya dikunjungi wisatawan dari berbagai latar belakang suku bangsa, asal negara, budaya dan agama yang berbeda.
            Kenyataan ini membuat beliau semakin terpanggil mengemban tugas melaksanakan upaya melestarikan nilai-nilai budaya Karo, mengingat tugas Gereja yang luhur dalam menjunjung tinggi nilai-nilai budaya semua bangsa  dan suku di dunia ini, sebagaimana dirumuskan  oleh Konsili Vatikan II dalam Sacrosanctum Concilium nomor 37 dan Konsili Gaudium et Spes nomor 53-62. 
            Para sahabat sudah dikumpulkan untuk berbagi “kegelisahan” dan untuk menghimpun barang-barang dan perkakas-perkakas sebagai Pusaka Karo yang akan dipamerkan berikut ratusan gambar “tempoe doeloe” yang sudah diketemukan dengan pencarian kemana-mana, pun sudah dipasang pada tempatnya. Kantor-kantor pemerintahan daerah dan swasta juga sudah dikunjungi untuk meminta nasehat dan  bantuan moril pemenan ergegeh dan ketika pejabat-pejabat tersebut berkunjung, mereka menyatakan appresiasi dukungan serta menyatakan tidak sabar lagi menunggu museum difungsikan.
            Lebih jauh tentang museum ini, sebagaimana tertuang dalam akte pendiriannya yang dibuat pada kantor notaris Fransiska Br. Bangun, SH. M.Kn dan didaftarkan pada kantor Pengadilan Negeri Kabanjahe, museum ini dikelola dalam Lembaga Pusaka Karo oleh P. Leo Joosten Ginting selaku Ketua, Bpk. Zakaria Sinuhaji selaku Wakil Ketua, Bpk. Betlehem Ketaren, SH selaku Sekretaris dan Bpk. Drs. Usaha Tarigan sebagai Bendehara dan dalam waktu yang dekat serta sedang dalam proses, lembaga ini akan ditingkatkan menjadi Yayasan Pusaka Karo yang akan didaftarkan pada Kantor Hukum dan Hak Asasi masusia Republik Indonesia.
            Lembaga Pusaka Karo yang telah didirikan tersebut dalam dalam keseluruhan fungsinya guna memelihara, melestarikan dan mengembangkan budaya Karo secara turun temurun, akan bekerja dengan kegiatan-kegiatan, sebagai berikut:
1. Mendirikan, mengelola dan mengembangkan Museum Pusaka Karo untuk   menanamkan dan menumbuhkan rasa cinta dan penghargaan pada budaya Karo dengan mengumpulkan, merawat, mendokumentasikan, memamerkan dan mempublikasikan serta melestarikan situs-situs bernilai sejarah, seni dan budaya Karo;
2. melestarikan alam beserta isinya yang mengandung nilai-nilai budaya dan menyelamatkannya dari kepunahan guna menghindari berbagai krisis identitas selaras dengan kemajuan jaman;
3. melakukan dan mewujudkan pembangunan bernuansa budaya melalui kerjasama dengan pelbagai pihak untuk mengentaskan kemiskinan dan keterbelakangan umat manusia;
4. mengumpulkan, menyimpan, merawat dan mendokumentasikan berbagai karya seni budaya baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud di masyarakat Karo serta memamerkan, mempublikasikan dan mengembangkannya;
5. mengumpulkan, menghidupkan kembali dan mengembangkan berbagai pengetahuan dan kearifan lokal sebagai modal dalam memenuhi kebutuhan manusia sesuai dengan kondisi dan sumber daya alam masyarakat Karo.
6. melakukan dan memfasilitasi berbagai pengkajian dan penelitian ilmiah dan non ilmiah di berbagai bidang untuk didokumentasikan dan dipublikasikan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat pada umumnya dan masyarakat ilmiah pada khususnya;
7. mendampingi dan memberdayakan masyarakat melalui pendidikan, pelatihan, lokakarya, diskusi, seminar, kampanye, penyuluhan, advokasi di bidang sosial, budaya, seni, agama, gender, kesehatan, lingkungan, ekonomi, pertanian dan hukum menuju kemandirian hidup yang beradab dan bercirikhas.
8. membangun dan memperkuat jaringan kerjasama dengan berbagai pihak baik lembaga pemerintah maupun swasta, baik lembaga masyarakat maupun perorangan, mulai tingkat lokal, nasional dan internasional.
9. mendirikan, mengelola dan mengembangkan perpustakaan untuk memfasilitasi pembelajaran dan penumbuhan minat baca masyarakat;
10. menerbitkan dokumen dan data-data seni budaya Karo serta kearifan lokal serta hasil-hasil penelitian agar masyarakat luas dalam memanfaatkannya sehingga dapat memahami, menghargai dan mengembangkannya;
11. menerbitkan bulletin, brosur, majalah, selebaran, poster dan sarana lain-lain yang dianggap sesuai dengan sarana untuk mensosialisasikan dan mengkomunikasikan seni, budaya dan kegiatan pelestarian kepada masyarakat luas;
12. mendirikan, melangsungkan dan menyelenggarakan tempat-tempat pemeliharaan dan pengembangan pendidikan bidang kebudayaan dalam bidang-bidang meliputi: seni tari, seni musik, seni rupa, seni lukis, seni vokal, koor, seni teater/drama, dan pemeliharaan benda-benda bersejarah, seta keahlian tertentu seperti fotografi, musik dan bahasa;
13. melakukan kegiatan pendidikan dan penyuluhan untuk menumbuhkan kepedulian terhadap pelestarian alam, lingkungan nilai-nilai budaya dan agama yang luhur dan konstruktif dan menumbuhkan kecintaan pada budaya Karo;
14. mengusahakan pelestarian, rehabilitasi, renovasi rumah-rumah adat, mengkonservasikan benda-benda bersejarah, situs megalitik dan situs bersejarah.
15. membantu pemerintah  dalam menunjang sektor parawisata untuk menarik perhatian wisatawan domestik dan mancanegara berkunjung ke dataran tinggi Karo sebagai salah satu Daerah Tujuan Wisata.
16. mengumpulkan dan menyimpan buku-buku atau majalah tentang Karo yang pernah diterbitkan, baik yang dalam bahasa Karo, bahasa Indonesia maupun bahasa asing untuk disimpan di dalam perpustakaan Museum yang sewaktu-waktu dapat dipergunakan dalam rangka studi/penelitian;
17. mengadakan seminar tentang budaya Karo bagi kelompok masyarakat, tokoh masyarakat adat serta para cendekiawan, sarjana dan mahasiswa serta memberi ceramah-ceramah, simposium, lokakarya dan konferensi;
18. mengirim putera-puteri Karo untuk studi Antropologi budaya dan studi di bidang permuseuman dan selanjutnya kembali ke Karo untuk membangun daerah Karo melalui kegiatan museum;
19. merevitalisasi, menumbuhkan dan mengembangkan seni budaya melalui kegiatan inkulturasi dalam penghayatan dan pengamalan keagamaan, pendalaman pengetahuan keagamaan, pertemuan rohani, retret, kursus, lokakarya, pelatihan dan seminar;
20. melakukan kegiatan-kegiatan yang menghidupkan kembali karya seni dan budaya Karo, membuat dan menyelenggarakan pameran, perlombaan di bidang seni budaya Karo demi pemeliharaan kesinambungan kegiatan pengembangan budaya, kemanusiaan, alam dan agama.
            Sebelum pintu museum tersebut dinyatakan terbuka, dua mahasiswa Antropologi dari salah satu universitas di Medan telah datang dan mohon diizinkan untuk mengadakan riset untuk kepentingan studinya, banyak anak sekolah melongokkan kepala ketika tukang masih bekerja dan turis-turis yang lewat juga terkadang memaksa untuk melihat-lihat ke dalam.
            Museum Karo dengan nama Museum Pusaka Karo yang terletak disebelah Pajak Buah Berastagi atau sebelah kantor Telkom atau tepatnya di Gereja Katolik (lama) Jln. Perwira No. 3 Berastagi tersebut, kalau tidak ada aral melintang, pada bulan Desember 2011 ini akan dibuka untuk umum dan dengan pintu terbuka menerima kehadiran kita semua baik untuk belajar maupun untuk melepas rindu (mburo ate tedeh) kepada barang-barang dan gambar-gambar pusaka Karo sebagai kekayaan kebudayaan kita yang pasti akan berguna dalam mengembangkan dan mengukuhkan jiwa serta  mengukukuhkan identitas diri, serta menjadi tempat bagi kita senantiasa berdiskusi tentang usaha-usaha pengembangan budaya Karo sebagai bagian dari budaya daerah Sumatera Utara sebagai khazanah budaya nasional kita.
            Museum Pusaka Karo dan Lembaga Pusaka Karo ini, sebagaimana fungsinya diatas, sesungguhnya dan seharusnya merupakan karya dan bakti kita semua, seluruh civitas akademika serta segenap orang-orang yang peduli akan budaya dan manusia, demi suatu cita-cita yang mulia dalam melestarikan kebudayaan Karo untuk tetap abadi, dengan keagungannya yang sarat nilai akan kebaikan dapat memberi sumbangsih pada pembangunan manusia Karo khususnya, manusia Indonesia khususnya dan sekaligus pada pada peradaban dunia pada umumnya.

*Staff Pengajar i  Universitas Quality; Sekretaris Paroki St. Fransiskus Asisi Berastagi; Sekretaris Lembaga Pusaka Karo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar